Jumat, 23 Maret 2018

Contoh Esai Respon : Kontroversi Islam: Antara Madzhab Tradisionalis dan Revisionis



OBJEKTIVITAS PENGAMATAN: ANTARA IMAN DAN SEJARAH

Nama            :  Rahma Aulia                       Dosen  :  Wardatun Nadhiroh, M.Hum.
                     NIM             :  1601422228                      Matkul : Al-Quran dan Orientalisme

Tugas  : Esai respon atas buku “Kontroversi Islam Awal: Antara Madzhab Tradisionalis dan Revisionis” karya Mun’im Sirry. (2013)

Ada beberapa persepsi mengenai objektivitas pengamat yang dalam hal ini diistilahkan sebagai outsider dan insider. Sesuatu yang masih abstrak yaitu siapakah dari kedua pihak yang lebih memiliki otoritas dalam pengkajian Islam? Dalam bukunya, Fazlur Rahman memberi sedikit komentar mengenai pernyataan W.C.Smith, seorang sejarawan agama, manakala dia mengatakan bahwa agama hanya bisa dipahami secara benar oleh outsider jika itu dibenarkan oleh pemeluk agama yang bersangkutan. Menurut Rahman, kaum Muslim tidaklah. Jika pada beberapa orang Islam pernyataan tersebut misalnya ditolak, tetapi sebenarnya juga mendapat monolitik sanjungan oleh sebagian yang lain. Selain itu, beberapa permasalahan juga terlihat mengenai batas “pemahaman keagamaan” dan “pemahaman intelektual”. Pemahaman keagamaan dianggap milik insider sementara pemahaman intelektual dimiliki oleh outsider. Jika benar, maka di sini telah terjadi dikotomi antara keduanya. Padahal saya kira kedua pemahaman ini bisa saja saling menopang satu sama lain. Pemahaman intelektual dan apresiasi terhadap Islam  sangat mungkin dimiliki oleh non-Muslim yang tidak berburuk sangka, sensitif dan memiliki pengetahuan yang memadai. Oleh karena itu, kita tidak mungkin dan tidak tepat jika melakukan generalisasi atas yang demikian. (Sirry, 2013)
Di sisi lain, memang ada beberapa hal dalam Alquran sebagai kitab suci umat Islam, sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh akal (rasio). Maka di sinilah letak keterbatasan pemahaman para outsider, sebab mereka menganalisis kajian Islam dan Alquran itu sendiri dengan kaidah-kaidah hukum alam yang ada sekarang, tanpa keimanan. Contohnya bagaimana Nabi Musa membelah lautan dengan tongkatnya, atau Nabi Isa diangkat ke langit, atau Nabi Muhammad menerima wahyu Ilahi. Hukum alam tidak akan mampu menjawab wilayah kemukjizatan seperti yang demikian. Oleh karena itu, para revisionis sekarang melakukan kritik historis yang mana ini seringkali disalahpahami oleh sebagian kaum Muslim. Di antara mereka ada yang membabi buta menolak pemikiran non-Muslim yang cenderung merevisi penjelasan tradisional itu dan menganggap hal tersebut sebagai upaya untuk merusak akidah Islam.  Namun ada juga mengapresiasi keseriusan mereka dalam mengkaji Islam dan menerima beberapa pemikiran mereka tanpa melakukan penolakan keras terhadap yang lain. (Sirry, 2013)
Menanggapi hal tersebut, saya kira ada beberapa komentar di sini. Pertama, mengenai keterkaitan pemahaman intelektual dan pemahaman keagamaan yang dipisahkan satu sama lain. Sebenarnya dua pemahaman ini saling berkaitan. Seperti yang telah disebutkan di atas, orang non-Muslim bisa saja memiliki niat apresiatif murni dalam kegiatannya sebagai pengkaji studi Islam. Sejalan dengan ini, orang Islam juga tidak melulu berpandangan negatif terhadap mereka.  Kedua, sikap orang Islam perihal kritik historis yang digencarkan oleh para revisionis. Kita tidak perlu menutup diri dari yang demikian, yang perlu dilakukan ialah meningkatkan pemahaman terhadap agama kita sendiri dibantu pengembangan dan pempublikasian ilmu-ilmu Islam. Keimanan tidak membatasi untuk tetap bersikap kritis atas apa yang kita dapat dari pengamatan. Justru sebenarnya hasil-hasil pemikiran tertentu dapat meningkatkan kadar keimanan bagi orang Islam. Namun yang masih dipersoalkan mungkin ialah dari perspektif siapakah kebenaran sejati bisa didapatkan? Seberapa besar pengaruh objektivitas kajian non-Muslim bagi kemajuan Islam itu sendiri?
Banjarmasin. Selasa, 20 Maret 2018.

Hadd Potong Tangan bagi Pencuri (Sebuah Kajian Hadits)



PENDAHULUAN
Salah satu konsep ajaran Islam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hak kepemilikan. Islam menuntut umatnya untuk bekerja dan memberikan rasa aman dalam setiap aktivitasnya. Syariat Islam melindungi darah, harga diri dan harta manusia dengan segala cara yang dapat membuatnya terhindar dari orang-orang yang merusak. Salah satunya dengan memberikan sanksi potong tangan bagi setiap pencuri tanpa pandang bulu.
Mencuri adalah mengambil secara sembunyi-sembunyi barang berharga milik orang lain yang disimpan oleh pemiliknya pada tempat yang wajar. Di zaman Nabi Musa a.s., seseorang dijadikan budak jika ketahuan mencuri. Sementara pada zaman Nabi Yusuf a.s., berdasarkan ketentuan yang berlaku di kerajaan saat itu, yaitu mengganti barang yang dicuri senilai dua kali lipat. Sanksi-sanksi inilah yang berlaku dalam syariat Bani Israil yang kemudian dihapus oleh ayat Alquran yang menjelaskan tentang hukum potong tangan.
Allah SWT berfirman :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ  
Artinya: “Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.al-Maidah: 38)
Beberapa ulama berbeda pendapat mengenai kadar atau batasan minimal seorang pencuri dikenai hadd potong tangan. Ada yang berpendapat bahwa pemotongan tangan dilakukan oleh semua bentuk pencurian. Sebagian yang lain mengatakan bahwa harus ada batas minimal barang yang dicuri. Perbedaan tersebut bukan tanpa alasan, melainkan berdasarkan analisa atas nash Alquran dan hadis Nabi yang shahih.



Hadd Potong Tangan bagi Pencuri :
Batasannya dan Pandangan Para Ulama

A.       Teks Hadis
حدثنا عبد الله بن مسلمة حدثنا ابراهيم بن سعد عن ابن شهاب  عن عمرة عن عائشة قال النبي صلى الله عليه و سلم : تُقْطَعُ الْيَدُ فِيْ رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدَا. (متفق عليه و هذه رواية البخارى)[1]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Amrah dari Aisyah, Nabi SAW bersabda : “Tangan pencuri dipotong bila (barang curiannya) mencapai seperempat dinar atau lebih.”  (H.R.Bukhari).[2]

حدثنا يحيى بن يحيى قال : قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عن ابنِ عُمَرَ أَنَّ رسولَ الله صلى الله عليه و سلم قَطَعَ سَارِقًا فِيْ مِجَنِّ قِيْمَتُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ. (متفق عليه و هذه رواية مسلم)[3]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, katanya: Aku membaca di hadapan Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah memotong tangan pencuri perisai yang harganya tiga dirham. (H.R.Muslim).[4]

B.       Takhrij Hadis
a.       Shahih Bukhari dalam Kitab al-Hudud Bab Qauluhu ta’alaa “was saariqu was saariqatu …” hadis No. 6789, 6790,  6791.
b.      Shahih Muslim dalam Kitab al-Hudud bab hadd al-saariqi wa nishabiha hadis no. 1674, 1675.[5]
c.       Sunan Abu Dawud dalam Kitab al-Hudud bab maa yuqtha’u fiihi al-saariq hadis no.4383, 4384.[6]
d.      Sunan Ibnu Majah dalam Kitab al-Hudud bab  hadd al-saariq hadis no. 2585.[7]
e.       Musnad Imam Ahmad Juz VI terdapat enam riwayat yaitu pada hadis no. 36, 81, 104, 163, 249, 252.
f.       Sunan al-Nasa`I dalam Kitab Qath’u al-Saariq bab al-qadr alladzi idza saraqa al-saariq… hadis no.4940.[8]
g.      Muwaththa` Imam Malik dalam Kitab al-Hudud bab maa yajibu fiih al-qath’u…  terdapat tiga riwayat yaitu pada hadis no. 24, 25 dan 27.
h.      Sunan al-Tirmidzi dalam Kitab al-Hudud bab maa jaa`a fii kam tuqtha’… hadis no. 1445.
i.        Sunan al-Darimi dalam Kitab al-Hudud bab maa yuqtha’u fiih al-yad… hadis no. 2300.

C.       Biografi Perawi
a.       Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi al-Haritsi, pernah menetap di Bashrah. Ibnu Sa’ad mengatakan bahwa dia seorang yang ‘aabid lagi faadhil. Adapun Abu Hatim dan selainnya mengatakan beliau tsiqah. Wafat pada 220 H. Ada yang mengatakan di Bashrah, ada juga yang mengatakan di Makkah. Wallahu a’lam.[9]
b.      Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf Al-Zuhri, pernah menetap di Baghdad. Imam Abu Dawud, Abu Hatim, Imam Ahmad dan selainnya mengatakan tsiqah. Lahir pada tahun 108 H. dan wafat pada 183 H. [10]
c.       Ibnu Syihab, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bn Abdullah bin Abdullah bin Syihab al-Zuhri. Beliau meriwayatkan ribuan hadis. Beliau orang yang tsiqah, Abu Bakar Manjawaih mengatakan beliau adalah salah satu dari sepuluh periwayat hadis yang paling kuat hafalan dan paling baik pada zamannya.[11]
d.      Aisyah bint Abu Bakr r.a., adalah istri Nabi SAW, masuk Islam ketika masih kecil sesudah 18 orang yang lain. Rasulullah SAW memperoistrinya pada tahun 2 H. Aisyah meriwayatkan 2.210 hadis dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Az-Zuhri berkata “Andaikata ilmu yang dikuasai Aisyah dibandingkan dengan yang dimiliki oleh istri-istri nabi yang lain dan seluruh wanita, maka keilmuan AIsyah lebih utama.” Aisyah r.a., wafat pada tahun 57 H. dan Abu Hurairah ikut mensholatkannya.[12]

D.       Analisis Lafazh
تقطع (dipotong) menggunakan bentuk majhul, dengan akar kata قطع يقطع artinya memotong.
السارق (pencuri), dalam terminologi fikih ialah mengambil harta yang dinilai  mulia (muhtaram) milik orang lain dari tempatnya yang layak tanpa ada syubhat secara diam-diam.[13] Jadi, bagi perampas barang orang lain, mengambil dengan cara menipu, pengkhianat atas harta orang lain yang diamanahkan kepadanya, bagi mereka tidak ada sanksi hadd sariqah. Namun ini tidak berarti mereka bebas dari hukuman apapun. Segala bentuk kesalahan mempunyai hukuman.
فصاعدا (atau lebih). Penulis kitab al-Muhkam berkata: “kata ini disebutkan secara khusus dengan huruf fa`, dan boleh juga dengan ثَّمَّ  namun tidak boleh menggunakan huruf wawu.[14]
دينار emas dengan berat 4,25 gram (emas murni).
مِجَنّ (perisai), dengan huruf mim berharakat kasrah, jim berharakat fathah dan diakhiri huruf nun, artinya perisai. Bentuk jamaknya majaan. Ia berasal dari kata ijtinaan yang artinya istitaar (menutup), karena perisai digunakan untuk menutupi atau melindungi badan dari senjata musuh saat perang.[15]
Dirham, adalah perak seberat 2, 975 gram.

E.        Penjelasan Hadis
Dalam riwayat Yunus dalam Shahih Bukhari disebutkan dengan redaksi, تقطع يد السارق (tangan pencuri dipotong), sementara dalam riwayat Harmalah dari Ibnu Wahab yang diriwayatkan Muslim disebutkan dengan redaksi, لا تقطع يد السارق إلا في ربع دينار (tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam (kasus pencurian yang mencapai) seperempat dinar). Demikian juga hadis yang diriwayatkan dari jalur sulaiman bin Yasar dari Amrah.[16]
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan minimal. Imam Syafi’i mengatakan bahwa batasan minimalnya adalah seperempat dinar emas atau barang yang senilai ¼ dinar. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama . Ini merupakan pendapat Aisyah, Umar bin Abdul Aziz, al-Auza’I, Laits, Abu Tsaur, Ishaq dan lain-lain. Adapun Malik dan Ahmad dalam sebuah riwayat berpendapat bahwa tangan seorang pencuri dipotong jika barang yang dicurinya mencapai seperempat dinar, atau tiga dirham, atau yang senilai salah satu dari keduanya. Pencurian di bawah itu tidak dikenai hukuman potong tangan. Sulaiman bin Yasar, Ibnu Syubrumah, Ibnu Abi Laila, dan Hasan dalam sebuah riwayat berpendapat bahwa tangan pencuri tidak dipotong kecuali nilainya lima dirham. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khaththab. Abu Hanifah dan para sahabatnya berpendapat bahwa batasannya sepuluh dirham. Al-Qadhi menuturkan dari sebagian sahabat batasan minimalnya adalah empat dirham, dan dari Utsman al-Butti batasannya adalah satu dirham.
Namun pendapat yang benar adalah pendapat Imam Syafi’I dan orang-orang yang sependapat dengannya, karena Nabi SAW sejara gamblang menjelaskan nishab atau batasan minimal dalam hadis-hadis berdasarkan lafazh beliau sendiri, yaitu seperempat dinar. Sedangkan pendapat yang lain merupakan pendapat yang tidak berdasar  serta bertentangan dengan makna gamblang dari hadis-hadis tersebut.[17] Ulama lain mengatakan bahwa jika yang menjadi patokan adalah dirham, maka akan bertentangan dengan periwayatan yang menyebutkan dinar secara jelas (tidak ada riwayat lain). Maka, nilai dirham tersebut dianggap sebagai nilai dari perisai yang saat itu menjadi alat, yang mungkin saja berbeda antara perisai satu dengan perisai lain.[18]
Jika dilihat ayat tentang hukum potong tangan bagi pencuri menunjukkan  bahwa potong tangan dilakukan baik dalam kasus pencurian yang sedikit maupun banyak. Jika riwayat yang menafsirkan ayat ini berbeda-beda, maka yang diambil adalah riwayat yang paling shahih dan yang paling sedikit, dan tidak ada riwayat yang lebih shahi daripada riwayat yang menetapkan ¼ dinar yang setara dengan 3 dirham, sebab 1 dinar sama dengan 12 dirham.
Penetapan kadar  ¼ dinar menjadi lebih kuat dengan alasan bahwa yang menjadi patokan kadarnya adalah nilai emas, karena emas merupakan pokok perhiasan di bumi. Hal ini diperkuat oleh apa yang dinukil dari Al-Khaththabi sebagai argumen yang menyatakan bahwa asal standar pembayaran (alat tukar) pada masa itu adalah dinar.[19]
Sebagai catatan, Al-Qadhi Iyadh memberi alasan mengapa hadd potong tangan hanya berlaku untuk kasus pencurian, tidak berlaku bagi perampasan, penipuan, dan dhashab.Dia berkata, karena semua yang disebutkan itu jarang terjadi jika dibandingkan dengan praktek pencurian. Lagipula dalam tiga kasus tersebut, dimungkinkan melaporkannya kepada pihak yang berwenang serta mudah mendatangkan saksi. Berbeda halnya dengan praktek pencurian yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam kasus ini, amat sulit mendatangkan saksi yang memberatkan. Secara umum, para ulama sepakat bahwa hadd potong tangan hanya berlaku untuk pencuri.[20]



PENUTUP

Dalam hadis-hadis yang telah disebutkan bahwa batasan terendah (nishab) nilai barang yang dicuri (agar pelakunya dapat dikenai hadd) adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Sementara itu pandangan para ulama bebeda-beda, namun yang paling tepat adalah pendapat Imam Syafi’i dan yang sependapat dengannya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Adapun syarat-syarat seorang pencuri dikenai hadd potong tangan ialah ; barang yang dicuri diambil dari tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi; tanpa ada syubhat;  dan pencurian terbukti benar. Sebagai bagian dari hukum Islam, hadd potong tangan mengandung hikmah besar karena dibalik itu semua ada rahmat dan keadilan Allah SWT.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari. Jilid 33. Terj. Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
____________________. Tahdzib al-Tahdzib fii Rijal al-Hadits. Jilid 1 dan 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004.
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarah Bulughul Maram. Jilid 6. Terj. Thahirin Suparta. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari. Jilid 4. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009.
Al-Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim. Jilid 2. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013.
Al-Mizzi, Yusuf Ibn al-Zaki. Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal. Jilid 9. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004.
Al-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib. Sunan al-Nasa’i. Jilid 4. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010.
Al-Nawawi, Imam. Syarah Shahih Muslim. Terj. Djunaedi Soffandi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid. Sunan Ibn Majah. Jilid 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009.
Al-Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Jilid 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013.
Syahriyah, Rizma. Hadits dan Ilmu Hadits. T.tt: t.p, t.th


[1] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 278.
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 33, terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 136.
[3] Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid 2 (Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013), 78.
[4] Imam An-Nawani, Syarah Shahih Muslim, terj. Djunaedi Soffandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), 210.
[5] Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid 2..., 77.
[6] Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013), 139-140.
[7] Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibn Majah, jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 248.
[8] Ahmad bin Syu’aib al-Nasa`i, Sunan al-Nasa`i, jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010), 54.
[9] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib fii Rijal al-Hadits, jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), 663-664.
[10] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid 1…, 121.
[11] Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fii Asma al-Rijal, jilid 9 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), 330-331.
[12] Rizma Syahriah, Hadits dan Ilmu Hadits (t.tt: t.p, t.th), 129-130.
[13] Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram, jilid 6, terj. Thahirin Suparta (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 311.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 33..., 150.
[15]Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram, jilid 6..., 313.
[16]Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 33...,, 150.
[17] Imam An-Nawani, Syarah Shahih Muslim…, 482
[18]Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 33..., 168.
[19] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 33..., 169.
[20] Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram, jilid 6..., 315.

Contoh Esai Respon : Kontroversi Islam: Antara Madzhab Tradisionalis dan Revisionis

OBJEKTIVITAS PENGAMATAN: ANTARA IMAN DAN SEJARAH Nama             :   Rahma Aulia                        Dosen   :   Wardatun Nadhi...