PENDAHULUAN
Salah
satu konsep ajaran Islam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hak
kepemilikan. Islam menuntut umatnya untuk bekerja dan memberikan rasa aman
dalam setiap aktivitasnya. Syariat Islam melindungi darah, harga diri dan harta
manusia dengan segala cara yang dapat membuatnya terhindar dari orang-orang
yang merusak. Salah satunya dengan memberikan sanksi potong tangan bagi setiap
pencuri tanpa pandang bulu.
Mencuri
adalah mengambil secara sembunyi-sembunyi barang berharga milik orang lain yang
disimpan oleh pemiliknya pada tempat yang wajar. Di zaman Nabi Musa a.s.,
seseorang dijadikan budak jika ketahuan mencuri. Sementara pada zaman Nabi
Yusuf a.s., berdasarkan ketentuan yang berlaku di kerajaan saat itu, yaitu
mengganti barang yang dicuri senilai dua kali lipat. Sanksi-sanksi inilah yang
berlaku dalam syariat Bani Israil yang kemudian dihapus oleh ayat Alquran yang
menjelaskan tentang hukum potong tangan.
Allah SWT berfirman :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
Artinya: “Pencuri
laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.al-Maidah: 38)
Beberapa ulama berbeda pendapat mengenai kadar atau batasan minimal seorang
pencuri dikenai hadd potong tangan. Ada yang berpendapat bahwa
pemotongan tangan dilakukan oleh semua bentuk pencurian. Sebagian yang lain
mengatakan bahwa harus ada batas minimal barang yang dicuri. Perbedaan tersebut
bukan tanpa alasan, melainkan berdasarkan analisa atas nash Alquran dan
hadis Nabi yang shahih.
Hadd Potong Tangan bagi Pencuri :
Batasannya dan Pandangan Para Ulama
A. Teks Hadis
حدثنا عبد الله بن مسلمة حدثنا ابراهيم بن سعد
عن ابن شهاب عن عمرة عن عائشة قال النبي
صلى الله عليه و سلم : تُقْطَعُ الْيَدُ فِيْ رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدَا. (متفق
عليه و هذه رواية البخارى)[1]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Maslamah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari
Ibnu Syihab dari Amrah dari Aisyah, Nabi SAW bersabda : “Tangan pencuri
dipotong bila (barang curiannya) mencapai seperempat dinar atau lebih.” (H.R.Bukhari).[2]
حدثنا يحيى بن يحيى قال : قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عن ابنِ
عُمَرَ أَنَّ رسولَ الله صلى الله عليه و سلم قَطَعَ سَارِقًا فِيْ مِجَنِّ قِيْمَتُهُ
ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ. (متفق عليه و هذه رواية مسلم)[3]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Yahya, katanya: Aku membaca di hadapan Malik dari Nafi’ dari Ibn
‘Umar bahwa Rasulullah memotong tangan pencuri perisai yang harganya tiga
dirham. (H.R.Muslim).[4]
B. Takhrij Hadis
a. Shahih Bukhari dalam Kitab al-Hudud Bab Qauluhu ta’alaa “was saariqu
was saariqatu …” hadis No. 6789, 6790,
6791.
b. Shahih Muslim dalam Kitab al-Hudud bab hadd al-saariqi wa nishabiha
hadis no. 1674, 1675.[5]
c. Sunan Abu Dawud dalam Kitab al-Hudud bab maa yuqtha’u fiihi
al-saariq hadis no.4383, 4384.[6]
e. Musnad Imam Ahmad Juz VI terdapat enam riwayat yaitu pada hadis no.
36, 81, 104, 163, 249, 252.
f. Sunan al-Nasa`I dalam Kitab Qath’u al-Saariq bab al-qadr alladzi idza saraqa
al-saariq… hadis no.4940.[8]
g. Muwaththa` Imam Malik dalam Kitab al-Hudud bab maa yajibu fiih
al-qath’u… terdapat tiga riwayat
yaitu pada hadis no. 24, 25 dan 27.
h. Sunan al-Tirmidzi dalam Kitab al-Hudud bab maa jaa`a fii kam tuqtha’… hadis
no. 1445.
i.
Sunan al-Darimi dalam Kitab al-Hudud
bab maa yuqtha’u fiih al-yad… hadis no. 2300.
C. Biografi Perawi
a.
Abdullah
bin Maslamah al-Qa’nabi
al-Haritsi, pernah menetap di Bashrah. Ibnu Sa’ad mengatakan bahwa dia seorang
yang ‘aabid lagi faadhil. Adapun Abu Hatim dan selainnya
mengatakan beliau tsiqah. Wafat pada 220 H. Ada yang mengatakan di Bashrah, ada
juga yang mengatakan di Makkah. Wallahu a’lam.[9]
b.
Ibrahim
bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin
‘Auf Al-Zuhri, pernah menetap di Baghdad. Imam Abu Dawud, Abu Hatim, Imam Ahmad
dan selainnya mengatakan tsiqah. Lahir pada tahun 108 H. dan wafat pada 183 H. [10]
c.
Ibnu
Syihab, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bn Abdullah bin
Abdullah bin Syihab al-Zuhri. Beliau meriwayatkan ribuan hadis. Beliau orang
yang tsiqah, Abu Bakar Manjawaih mengatakan beliau adalah salah satu dari
sepuluh periwayat hadis yang paling kuat hafalan dan paling baik pada zamannya.[11]
d.
Aisyah
bint Abu Bakr r.a., adalah istri
Nabi SAW, masuk Islam ketika masih kecil sesudah 18 orang yang lain. Rasulullah
SAW memperoistrinya pada tahun 2 H. Aisyah meriwayatkan 2.210 hadis dan
menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Az-Zuhri berkata “Andaikata ilmu yang
dikuasai Aisyah dibandingkan dengan yang dimiliki oleh istri-istri nabi yang
lain dan seluruh wanita, maka keilmuan AIsyah lebih utama.” Aisyah r.a., wafat
pada tahun 57 H. dan Abu Hurairah ikut mensholatkannya.[12]
D. Analisis Lafazh
تقطع (dipotong) menggunakan bentuk majhul, dengan
akar kata قطع يقطع artinya
memotong.
السارق
(pencuri), dalam terminologi fikih ialah mengambil harta yang dinilai mulia (muhtaram) milik orang lain dari
tempatnya yang layak tanpa ada syubhat secara diam-diam.[13]
Jadi, bagi perampas barang orang lain, mengambil dengan cara menipu, pengkhianat
atas harta orang lain yang diamanahkan kepadanya, bagi mereka tidak ada sanksi hadd
sariqah. Namun ini tidak berarti mereka bebas dari hukuman apapun. Segala
bentuk kesalahan mempunyai hukuman.
فصاعدا (atau lebih). Penulis kitab al-Muhkam berkata:
“kata ini disebutkan secara khusus dengan huruf fa`, dan boleh juga
dengan ثَّمَّ namun tidak boleh menggunakan huruf wawu.[14]
دينار emas dengan berat 4,25 gram (emas murni).
مِجَنّ (perisai), dengan huruf mim berharakat
kasrah, jim berharakat fathah dan diakhiri huruf nun, artinya
perisai. Bentuk jamaknya majaan. Ia berasal dari kata ijtinaan
yang artinya istitaar (menutup), karena perisai digunakan untuk menutupi
atau melindungi badan dari senjata musuh saat perang.[15]
Dirham, adalah perak seberat 2, 975 gram.
E.
Penjelasan Hadis
Dalam riwayat Yunus dalam Shahih Bukhari disebutkan
dengan redaksi, تقطع يد السارق (tangan pencuri dipotong), sementara dalam
riwayat Harmalah dari Ibnu Wahab yang diriwayatkan Muslim disebutkan dengan
redaksi, لا تقطع يد السارق إلا في ربع دينار (tangan pencuri tidak dipotong
kecuali dalam (kasus pencurian yang mencapai) seperempat dinar). Demikian juga
hadis yang diriwayatkan dari jalur sulaiman bin Yasar dari Amrah.[16]
Para ulama
berbeda pendapat mengenai batasan minimal. Imam Syafi’i mengatakan bahwa
batasan minimalnya adalah seperempat dinar emas atau barang yang senilai ¼
dinar. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama . Ini merupakan pendapat
Aisyah, Umar bin Abdul Aziz, al-Auza’I, Laits, Abu Tsaur, Ishaq dan lain-lain.
Adapun Malik dan Ahmad dalam sebuah riwayat berpendapat
bahwa tangan seorang pencuri dipotong jika barang yang dicurinya mencapai
seperempat dinar, atau tiga dirham, atau yang senilai salah satu dari keduanya.
Pencurian di bawah itu tidak dikenai hukuman potong tangan. Sulaiman bin Yasar,
Ibnu Syubrumah, Ibnu Abi Laila, dan Hasan dalam
sebuah riwayat berpendapat bahwa tangan pencuri tidak dipotong kecuali nilainya
lima dirham. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khaththab. Abu Hanifah dan
para sahabatnya berpendapat bahwa batasannya sepuluh dirham. Al-Qadhi
menuturkan dari sebagian sahabat batasan minimalnya adalah empat dirham, dan
dari Utsman al-Butti batasannya adalah satu dirham.
Namun pendapat
yang benar adalah pendapat Imam Syafi’I dan orang-orang yang sependapat
dengannya, karena Nabi SAW sejara gamblang menjelaskan nishab atau batasan
minimal dalam hadis-hadis berdasarkan lafazh beliau sendiri, yaitu seperempat
dinar. Sedangkan pendapat yang lain merupakan pendapat yang tidak berdasar serta bertentangan dengan makna gamblang dari
hadis-hadis tersebut.[17] Ulama lain mengatakan bahwa jika yang menjadi patokan adalah dirham, maka
akan bertentangan dengan periwayatan yang menyebutkan dinar secara jelas (tidak
ada riwayat lain). Maka, nilai dirham tersebut dianggap sebagai nilai dari
perisai yang saat itu menjadi alat, yang mungkin saja berbeda antara perisai
satu dengan perisai lain.[18]
Jika dilihat ayat tentang hukum potong tangan bagi
pencuri menunjukkan bahwa potong tangan dilakukan baik dalam kasus pencurian
yang sedikit maupun banyak. Jika riwayat yang menafsirkan ayat ini
berbeda-beda, maka yang diambil adalah riwayat yang paling shahih dan yang
paling sedikit, dan tidak ada riwayat yang lebih shahi daripada riwayat yang
menetapkan ¼ dinar yang setara dengan 3 dirham, sebab 1 dinar sama dengan 12
dirham.
Penetapan kadar ¼ dinar menjadi lebih kuat dengan alasan bahwa yang menjadi patokan kadarnya
adalah nilai emas, karena emas merupakan pokok perhiasan di bumi. Hal ini
diperkuat oleh apa yang dinukil dari Al-Khaththabi sebagai argumen yang
menyatakan bahwa asal standar pembayaran (alat tukar) pada masa itu adalah
dinar.[19]
Sebagai catatan, Al-Qadhi Iyadh memberi alasan mengapa hadd
potong tangan hanya berlaku untuk kasus pencurian, tidak berlaku bagi
perampasan, penipuan, dan dhashab.Dia berkata, karena semua yang disebutkan itu
jarang terjadi jika dibandingkan dengan praktek pencurian. Lagipula dalam tiga
kasus tersebut, dimungkinkan melaporkannya kepada pihak yang berwenang serta
mudah mendatangkan saksi. Berbeda halnya dengan praktek pencurian yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam kasus ini, amat sulit mendatangkan
saksi yang memberatkan. Secara umum, para ulama sepakat bahwa hadd
potong tangan hanya berlaku untuk pencuri.[20]
PENUTUP
Dalam hadis-hadis yang telah disebutkan bahwa batasan
terendah (nishab) nilai barang yang dicuri (agar pelakunya dapat dikenai hadd)
adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Sementara itu pandangan
para ulama bebeda-beda, namun yang paling tepat adalah pendapat Imam Syafi’i
dan yang sependapat dengannya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Adapun
syarat-syarat seorang pencuri dikenai hadd potong tangan ialah ; barang
yang dicuri diambil dari tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi; tanpa
ada syubhat; dan pencurian terbukti
benar. Sebagai bagian dari hukum Islam, hadd potong tangan mengandung
hikmah besar karena dibalik itu semua ada rahmat dan keadilan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari. Jilid 33. Terj.
Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
____________________. Tahdzib al-Tahdzib fii Rijal
al-Hadits. Jilid 1 dan 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004.
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarah Bulughul
Maram. Jilid 6. Terj. Thahirin Suparta. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Al-Bukhari,
Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari. Jilid 4. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009.
Al-Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim. Jilid 2. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013.
Al-Mizzi, Yusuf Ibn al-Zaki. Tahdzib al-Kamal fi Asma
al-Rijal. Jilid 9. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004.
Al-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib. Sunan al-Nasa’i.
Jilid 4. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010.
Al-Nawawi, Imam. Syarah Shahih Muslim. Terj.
Djunaedi Soffandi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid. Sunan Ibn Majah.
Jilid 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009.
Al-Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Jilid 3.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013.
Syahriyah, Rizma. Hadits dan Ilmu Hadits. T.tt:
t.p, t.th
[1] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 4 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 278.
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 33, terj.
Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 136.
[4] Imam An-Nawani, Syarah Shahih Muslim, terj. Djunaedi Soffandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), 210.
[6] Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, jilid 3 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013), 139-140.
[7] Muhammad bin
Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibn Majah, jilid 3 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 248.
[8] Ahmad bin Syu’aib al-Nasa`i, Sunan al-Nasa`i, jilid 4 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010), 54.
[9] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib fii Rijal al-Hadits,
jilid 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), 663-664.
[11] Yusuf ibn
al-Zaki al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fii Asma al-Rijal, jilid 9 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), 330-331.
[12] Rizma
Syahriah, Hadits dan Ilmu Hadits (t.tt: t.p, t.th), 129-130.
[13] Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram, jilid 6,
terj. Thahirin Suparta (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 311.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 33..., 150.
[15]Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram, jilid
6..., 313.
[16]Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 33...,, 150.
[18]Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 33..., 168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar