OBJEKTIVITAS
PENGAMATAN: ANTARA IMAN DAN SEJARAH
Nama : Rahma Aulia Dosen :
Wardatun Nadhiroh, M.Hum.
NIM :
1601422228 Matkul : Al-Quran dan Orientalisme
Tugas : Esai
respon atas buku “Kontroversi Islam Awal: Antara Madzhab Tradisionalis dan Revisionis” karya Mun’im Sirry. (2013)
Ada beberapa persepsi mengenai objektivitas pengamat yang dalam hal
ini diistilahkan sebagai outsider dan insider. Sesuatu yang masih
abstrak yaitu siapakah dari kedua pihak yang lebih memiliki otoritas dalam
pengkajian Islam? Dalam bukunya, Fazlur Rahman memberi sedikit komentar
mengenai pernyataan W.C.Smith, seorang sejarawan agama, manakala dia mengatakan
bahwa agama hanya bisa dipahami secara benar oleh outsider jika itu
dibenarkan oleh pemeluk agama yang bersangkutan. Menurut Rahman, kaum Muslim
tidaklah. Jika pada beberapa orang Islam pernyataan tersebut misalnya ditolak,
tetapi sebenarnya juga mendapat monolitik sanjungan oleh sebagian yang lain.
Selain itu, beberapa permasalahan juga terlihat mengenai batas “pemahaman
keagamaan” dan “pemahaman intelektual”. Pemahaman keagamaan dianggap milik insider
sementara pemahaman intelektual dimiliki oleh outsider. Jika benar,
maka di sini telah terjadi dikotomi antara keduanya. Padahal saya kira kedua
pemahaman ini bisa saja saling menopang satu sama lain. Pemahaman
intelektual dan apresiasi terhadap Islam
sangat mungkin dimiliki oleh non-Muslim yang tidak berburuk sangka,
sensitif dan memiliki pengetahuan yang memadai. Oleh karena itu, kita tidak mungkin
dan tidak tepat jika melakukan generalisasi atas yang demikian. (Sirry, 2013)
Di sisi lain, memang ada beberapa hal dalam
Alquran sebagai kitab suci umat Islam, sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh
akal (rasio). Maka di sinilah letak keterbatasan pemahaman para outsider,
sebab mereka menganalisis kajian Islam dan Alquran itu sendiri dengan
kaidah-kaidah hukum alam yang ada sekarang, tanpa keimanan. Contohnya bagaimana
Nabi Musa membelah lautan dengan tongkatnya, atau Nabi Isa diangkat ke langit,
atau Nabi Muhammad menerima wahyu Ilahi. Hukum alam tidak akan mampu menjawab
wilayah kemukjizatan seperti yang demikian. Oleh karena itu, para revisionis
sekarang melakukan kritik historis yang mana ini seringkali disalahpahami oleh
sebagian kaum Muslim. Di antara mereka ada yang membabi buta menolak pemikiran
non-Muslim yang cenderung merevisi penjelasan tradisional itu dan menganggap
hal tersebut sebagai upaya untuk merusak akidah Islam. Namun ada juga mengapresiasi keseriusan
mereka dalam mengkaji Islam dan menerima beberapa pemikiran mereka tanpa
melakukan penolakan keras terhadap yang lain. (Sirry, 2013)
Menanggapi hal tersebut, saya kira ada
beberapa komentar di sini. Pertama, mengenai keterkaitan pemahaman intelektual
dan pemahaman keagamaan yang dipisahkan satu sama lain. Sebenarnya dua
pemahaman ini saling berkaitan. Seperti yang telah disebutkan di atas, orang
non-Muslim bisa saja memiliki niat apresiatif murni dalam kegiatannya sebagai
pengkaji studi Islam. Sejalan dengan ini, orang Islam juga tidak melulu
berpandangan negatif terhadap mereka. Kedua,
sikap orang Islam perihal kritik historis yang digencarkan oleh para
revisionis. Kita tidak perlu menutup diri dari yang demikian, yang perlu
dilakukan ialah meningkatkan pemahaman terhadap agama kita sendiri dibantu
pengembangan dan pempublikasian ilmu-ilmu Islam. Keimanan tidak membatasi untuk
tetap bersikap kritis atas apa yang kita dapat dari pengamatan. Justru
sebenarnya hasil-hasil pemikiran tertentu dapat meningkatkan kadar keimanan
bagi orang Islam. Namun yang masih dipersoalkan mungkin ialah dari perspektif
siapakah kebenaran sejati bisa didapatkan? Seberapa besar pengaruh objektivitas
kajian non-Muslim bagi kemajuan Islam itu sendiri?
Banjarmasin. Selasa, 20 Maret 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar